Sejuta kisah di Al Ilmu

Image

Tidak ada perubahan drastis di Mushala Al Ilmu selama hampir 6 tahun silam. Dalam kurun 6 tahun itu semua masih sama, mungkin hanya segelintir benda saja yang berpindah tempat. Mushala yang kecil, tapi memiliki peran besar untuk setiap orang yang datang. Mushala yang sempit tapi selalu memberikan kelapangan bagi orang yang bermunajat di dalamnya. Mushala yang jelek tapi mampu memberi perubahan yang lebih indah bagi insan yang melingkar di karpetnya. Mushala itu, Al Ilmu. Selalu menjadi tempat siswa/i yang lelah fisik dan jiwa untuk rehat. Ia selalu menerima siswa/i itu apa adanya dan mau mendengar segala keluh-suka mereka.

Tapi tidak untuk kali ini, di awal januari lalu. Betapa rumit hati memandang, perasaan berkecamuk menjadi satu. Bahagia. Penuh harap. Khawatir. Bertanya-tanya. Akankah mushala Al ilmu yang kecil menjadi luas? Akankah mushala bisa menjadi wadah para aktivis seperti dahulu kala? Akankah perubahan ini memberi perubahan pula bagi penghuni mushala? Kini kita hanya menunggu. Namun, satu-persatu tanya dan perasaan itu terangkai menjadi sebuah prasangka baik, menjadi doa. Doa kebaikan untuk perubahan mushala secara fisik dan mungkin menyusul perubahan bagi aktivitas serta aktivis di dalamnya.

Daun pintu, tembok, papan mading, kaca, atap, karpet, dinding, kesemuanya telah runtuh. Namun tidak dengan semangat kami, kita, dan mereka. Niscaya seusai runtuh maka akan disusul dengan semangat membangun kembali. Setelah keruntuhan niscaya akan ada kebangkitan. Percayalah kawan!

Daun pintu, tembok, papan mading, kaca, atap, karpet, dinding, kesemuanya menyimpan kisah kami, kita, dan mereka. Kini kesemua penyimpan memori itu telah runtuh. Tapi tidak dengan memori kami, kita, dan mereka. Semuanya lengkap, menghunjam di sanubari masing-masing. Meski sebagian kami, kita, dan mereka sedikit terlupa akan bagian pentingnya, kelak suatu saat kami, kita, dan mereka akan teringat kembali. Pasti.

Daun pintu. Mushala al ilmu hanya menyediakan daun pintu untuk bagian ikhwan (putra). Sementara bagian mushala untuk akhwat (putri) hanya ditutup oleh papan mading. Ibarat peribahasa, tak ada pintu, papan pun jadi. Bersyukurlah kami, karena dengan papan itulah kami, kita, dan mereka bisa berkreasi. Suatu siang seusai pulang sekolah, siswi-siswi SMA 9 berbaur di dalam mushala untuk melaksanakan shalat dzuhur berjamaah. “Assalamu’alaikum, dik,” sapa seorang mbak tanpa seragam kepada seorang siswi. Kelihatannya mbak itu alumni SMA 9 yk. “Wa’alaikumussalam, mbak,” jawab siswi itu kikuk. “namanya siapa?” tanya mbak alumni, maka berlajutlah percakapan mereka berdua, disusul siswi-siswi lain yang ikut bercengkrama. Papan mading menjadi saksi atas pertemuan indah itu. Betapa senang dan bahagia perasaan seorang siswi kelas X yang disapa ramah oleh kakak senior yang baik hati dan cantik tadi. Nyaman. Itulah kesan pertama.

Karpet hijau. Di dalam mushala terhampar karpet yang hangat, sehangat perbincangan antara kakak senior yang ramah dengan adik-adik yang masih polos itu. Perbincangan selalu meriah tiap jum’at siang. Ada canda, ada tawa, ada kecewa, ada tangis, dan yang pasti ada sebuah semangat baru seusai perbincangan itu selesai. Kami, kita, dan mereka mungkin juga akan merindukan momen lutisan yang sering diadakan para akhwat. Persahabatan kami, kita, dan mereka begitu indah dan “suci, tidak akan lekang oleh waktu. Lebih kuat dari pada ikatan dengan saudara sekandung kita,” kata mbak senior itu suatu kali. Maka bagai air bersih di sungai yang dapat mengukir batu perlahan, perbincangan seperti itu -dimanapun- mampu melahirkan banyak akhwat yang luar biasa. Meski beberapa batu terbawa arus sungai yang senantiasa menderas, membawa nya kemanapun anak sungai berada.

Dinding. Ia selalu memata-matai kami, kita, dan mereka, para akhwat yang selalu berisik setiap bel pulang sekolah berbunyi. Tanpa aba-aba, tanpa SMS, tanpa diundang, kami selalu menyempatkan mampir di mushala sebelum pulang. Entah medan magnit apa yang menyeret kami ke mushala. “Kurang afdhol kalau belum ngetem di mushala setelah pulsek”, itu lah slogan kami, dulu. Saling bertegur-sapa dengan akwat yang lain. Menanyakan kabar seharian. Berbagi cerita. Bercanda. Menggosip sesekali. Meluapkan amarah. Sampai merencanakan amunisi untuk dakwah di SMA 9 tercinta. Lantai, ia menjadi sahabat yang setia mendengarkan celoteh kami. Terkadang berbagai pena, pulpen, kertas, menghabur di permukaan lantai. Goresan pena sesekali menggoresnya. Goresan-goresan itu akan semakin sering kala kami berkonsentrasi, memutar otak kanan mencari ide untuk ‘bulbul’, buletin adz dzikr. Semangat, kreativitas, gelisah, ragu, menjadi bumbu disetiap detil pembuatan ‘bulbul’. Begitu pula saat membuat mading. Kenangan itu menggambarkan jiwa muda para aktivis belia itu.

Tirai dan tembok pembatas. Mereka membatasi interaksi kami, kita, dan mereka, antara akhwat dan ikhwan. Karena memang begitulah yang disyariatkan, tidak perlu terlalu intens antar ikhwan-akhwat. Terlebih kami, kita, dan mereka adalah remaja yang terlalu labil menerima perubahan perasaan dan fisiknya. Jika tirai itu dapat berbicara, maka tanyalah apa yang akhwat lakukan kala rapat di mushala. “Mereka sering menghela nafas jika para ikhwan lambat berpikir atau bekerja sendiri -tanpa akhwat-, sesekali tertawa jika ada hal lucu, terkadang malah sibuk dengan hp, berbisik-bisik, beberapa mungkin saling mengerutkan dahi jika ada ide dari ikhwan, atau tersenyum lega saat kegiatan berjalan baik, bahkan ada pula air mata saat mereka benar-benar kecewa“.

Tempat wudhu dan wc. Mereka mengajarkan kami, kita, dan mereka betapa pentingnya kebersihan. Berpedoman bahwa ‘kebersihan sebagian dari iman’ maka para akhwat dahulu, sering mengadakan ritual ‘ketibreng’. Kerja bakti bareng. Tempat utama yang menjadi sasaran ‘ketibreng’ adalah wc dan tempat wudhu. Seorang sahabat akhwat kala itu begitu semangat menjadi koord takmir (kemusholaan), sampai-sampai membawa berbagai senjata untuk membersihkan wc dan tempat wudhu. Teman-teman yang lain sampai terbawa kebiasaan ‘ketibreng’ itu di rumah. Pelajaran berharga dan sederhana yang dapat dipetik adalah, kami jadi tahu cara membersihkan kamar mandi. Sehingga beberapa akhwat jadi semangat untuk membersihkan kamar mandi rumah ala ‘ketibreng’. Lelah. Keringat. Pegal. Semua itu terbayar dengan senyuman kami kala itu, setelah melihat wc dan tempat wudhu yang kinclong.

Masih banyak benda-benda ‘pusaka’ di dalam mushala yang menyimpan banyak kenangan kami, kita, dan mereka. Buku ukhuwah, album alumni, rak mukena, mukena, cermin, keran air, gayung, sandal teklek, piring, kipas angin, semuanya akan rusak dan musnah. Namun tentu tidak akan merusak kenangan kami, kita, dan mereka semua tentang mushala Al Ilmu. Mushala Al ilmu, terimakasih telah menyimpan memori ini. Selayaknya pula, kami, kita, dan mereka lebih berterimakasih, bersyukur, lebih banyak, lebih sering pada Allah SWT, Tuhan MahaBijak, yang menakdirkan perubahan hidup kita. Perubahan yang dimulai dari mushala yang kini sedang diubah (renovasi). Tetap semangat kawan-kawan semua, terutama siswa/i aktivis SAI Adz Dzikr, selamat menempuh alur hidup baru, di mushala yang baru kelak. Barakallah!

sebuah kisah masa lalu, hadir dibenakku. Saat kulihat surau itu menyibak lembaran masa yang indah. Bersama. Sahabatku…. Setiap sudut surau itu menyimpan kisah. Kadang kurindu cerita yang tak pernah hilang kenangan. Bersama mencari cahayaMu. Sepotong episode masa lalu aku. Episode sejarah yang membuatku kini merasakan bahagia dalam dienMu. Mengubah arahan langkah di hidupku.  -edcoustic-

Sleman, 15 Rabiul ‘Awal 1434H

A.P.Sari

Tinggalkan komentar